MEMBANGUN KESADARAN DIRI MAHASISWA SEBAGAI PEMIKIR


 Mahasiswa adalah kelompok manusia atau komunitas akademis yang "secara aktual" sedang senangannya mencari jati diri dengan pikirannya, untuk berusaha mencetakkan baginya sebuah identitas baru sebagai "kaum pemikir". Filsafat Ilmu, karena itu, pertama-tama berusaha menumbuhkan kesadaran dan kebanggaan dalam diri mahasiswa sebagai calon pemikiran sejati. Kesadaran diri selaku pemikir sejati, mendorong Anda selaku mahasiswa untuk mengembangkan diri sebagai ilmuawan sejati.

Memang, filsafat memandang manusia sebagai makhluk berpikir (Homo Sapiens), namun filsafat juga menegaskan bahwa tidak semua manusia, secara otomatis, dapat memanusiakan diri sebagai pemikir sejati. Kesadaran diri sebagai makhluk berpikir, merupakan langkah awal bagi manusia, khusunya mahasiswa dalam menempatkan diri sebagai makhluk istimewa yang berbeda dari makhluk lainnya dengan berusaha mengembangkan daya pemikiran atau kemampuan berpikirnya secara baik, aktif, kreatif jujur, dan benar.

Jelas bahwa manusia, khusunya mahasiswa, tidak dapat membangun kehidupan, mengembangkan diri, serta kehidupan kemahasiswaannya tanpa berpikir. Mahasiswa, setiap saat seolah berada dalam sebuah kecemasan intelektual atau kegelisahan pemikiran, dalam mengamati keadaan di sekitarnya. Mereka terdorong untuk mengamati, menguji, mengkritisi, dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang lebih jelas atau tajam dalam memecahkan realitas dimaksud. Mereka tidak mau menerima sesuatu sebagai apa adanya, tetapi menghadapinya sebagai obyek berpikir untuk mengerjakan pengertian-pengertian (konsep), keputusan-keputusan intelektual yang khas. Mereka menguji setiap konsep, teori, atau pandangan dalam dunia kenyataan dengan menciptakan bahasa sebagai alat untuk mengkomunikasikan pikirannya. Pendeknya, mereka ingin memecahkan misteri ketidaktahuan, dan menemukan pemikiran-pemikiran dari hal-hal yang telah ada menuju pengetahuan baru, serta menciptakan pemikiran atau penemuan-penemuan baru dalam bentuk krangka pemahaman ilmu,teknologi.

Perhatikan gambar di bawah, yang seolah mengekprasikan seorang mahasiswa dalam kegelisahan pemikiran, yang seolah-olah membuatnya di berpikir dalam dua dunia. Di satu sisi, ia berkelana dengan pikirannya dalam berbagai teks pemikiran yang seolah menggerogori alam pemikirannya, sementara di sisi lain ia berpikir dalam dunia relitasnya dalam sebuah keprihatinan pemikiran (keprihatinan intelektual), dengan mata pemikirannya yang melotot untuk mengamati, menguji, mengkritisi, dan memecahkan permasalahan hidup yang terjadi di lingkungannya.

Mahasiswa, karena itu, hendak menegaskan bahwa, manusia sejak dari lahir sampai matinya, tidak pernah berhenti dari berpikir. Manusia, hampir tidak ada masalah menyangkut kehidupannya (baik yang remeh dan sederhana misalnya, sarapan pagi sampai pada soal-soal yang paling asasi seperti sorga atau neraka), yang lepas dari jangkuan berpikirnya. Baginya, manusia yang mengabaikan tugas melatih, mendewasakan, dan mencerdaskan diri dan hidup dengan berpikir akan tergilas oleh kehidupan itu sendiri, sehingga tidak berdaya menghadapi arus kehidupan yang terus mengalir. Otak manusia bekerja seperti jantung yang tidak berhenti berdenyut, siang malam, sejak masa kecil sampai tua renta. Otak manusia menyimpan berbagai jaringan yang menyimpan serta mengalirkan berbagai juta, bahkan, bilyun ingatan, kemampuan bicara, perhitungan, keinginan, kekuatan, pola, dan suara. Otak manusia, membuat manusia mampu mengerjakan pengertian-pengertian (konsep), keputusan-keputusan, menciptakan bahasa sebagai tanda kepribadian dan alat komunikasi, memecahkan misteri ketidaktahuan, dan menemukan pemikiran-pemikiran dari hal-hal yang telah ada menuju pengetahuan baru, serta menciptakan pemikiran atau penemuan-penemuan baru dalam bentuk ilmu, teknologi, seni, dan industri.

Baginya, banyak manusia yang memiliki potensi kecerdasan, tetapi bisa lalai, gagal, atau salah dalam mengembangkan kecerdasannya, baik dalam membangun kehidupan sehari-hari. Bahkan, banyak yang gagal mengembangkan potensi kecerdasannya dalam meraih ilmu atau pengetahuan sebagai sarana kekuatan dan kekuasaan manusia dalam alam. Akibatnya, mereka gagal meraih martabat diri dan mengembangkan kehidupan sebagai makluk berpikir.

Melalui studi filsafat Ilmu, hendak ditegaskan bahwa martabat diri manusia ditentukan oleh sejauh mana ia berpikir dan mengembangkan pikirannya. Filsuf Rene Descartes, menegaskan hal itu dengan mengatakan bahwa: "karena berpikir maka aku ada" (Cogito ergo sum). Implikasi pandangan tersebut adalah bahwa karena manusia itu berpikir maka ia ada", sebab tanpa berpikir maka manusia tidak pernah akan menyadari keberadaan aktualnya sebagai potensi "ada" dan "mengada", atau mampu menempatkan diri sebagai "subyek pengada" bagi ada lainnya (berupa pengetahuan, ilmu, atau penemuan lain) di dalam hidup ini. Tanpa berpikir, manusia tidak memiliki perbedaan secara mendasar (essensial) dari makhluk lainnya, dan mungkin, akan mudah dibatasi (dideterminasi) oleh kekuatan alam atau makhluk lainnya.

   

Contoh Mahasiswa Sebagai Pemikir Sejati.

Mahasiswa, bukan sekedar sebuah gelar intelektual, tetapi tanda keberadaan actual sebagai pemikira sejati. Kesadaran diri dan pengembangan diri sebagai homo sapiens membuat para mahasiswa bergerak dari sekedar sebuah "keberadaan kodrati" atau "keberadaan potensial" menjadi "keberadaan aktual" sebagai pemikir sejati yang mampu menyumbang bagi pengembangan ilmu, kebudayaan, dan kesejahteraan masyarakat. Melelui pengembangan diri sebagai pemikir sejati, mahasiswa mampu menyumbang bagi pemenuhan keterbatasan kodratinya serta membudayakan diri dan alam lingkungannya menjadi pribadi dan lingkungan yang bermartabat serta berbudaya. Pikiran membuat mausia mampu melakukan transendensi diri sehingga mampu membebaskan diri dari berbagai determinasi dan represi, baik yang bersifat alami, tradisi, provokasi, maupun "penyakit peradaban" yang ingin membelenggu dan memperbudak manusia secara utuh dan sitematis.

Bagi seorang mahasiswa atau pemikir sejati, Homo Sapiens bukan sekedar sebuah tanda keberadaan, tetapi tanda kekuatan dan kekuasaan (the Power). Bahkan, lebih daripada itu, bernilai pada dirinya sebagai "tenaga budaya". Mahasiswa sebagai pemikir, hendak membuktikan bahwa manusia, dengan pikirannya, bukan saja mampu mengetahui rahasia alam, tetapi mampu menguasainya dan "menanganinya". Manusia, dengan pikirannya, sebagai "tenaga budaya" mampu membangun berbagai sistem berpikir, sistem pengetahuan, dan sistem keilmuan yang mampu menempatkannya sebagai aktor zaman. Manusia, dengan pikirannya, mampu membudayakan diri dan alam lingkungannya menjadi manusia dan alam lingkungan yang berbudaya. Hanya manusia berpikir lah yang mampu membangun sebuah "keberadaan" yang khas manusiawi bagi diri dan lingkungannya (bd. Watloly: 2001: 21-37).

Jadi, Homo sapiens adalah tanda kesadaran manusia akan otonomi dan kreatifitas dirinya yang melahirkan kemampuan manusia untuk bernalar, mencerap, mengamati, mengingat, membayangkan, menganalisis, memahami, merasa, membangkitkan emosi, menghendaki, melakukan sintesis, abstraksi, serta mengadakan suatu perhitungan menuju ke masa depan. Homo sapiens merupakan sebuah keberadaan aktif yang memungkinkan dunia obyektif direfleksikan dalam konsep, putusan intelektual, serta memungkinkan manusia mengorganiser pikirannya darai taraf-taraf hipoteisis (dugaan-dugaan sementara) menuju taraf pembuktian untuk menjadi teori, ilmu, teknologi, industri, dan sebagainya, serta membuat manusia mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan secara efektif dan sitematis.

Aristoteles, karena itu menganjurkan; "agar orang yang tidak mampu berpikir dan tidak mau mengembangkan daya pikirannya harus dilenyapkan saja". Alasannya, mereka adalah sama dengan orang yang cacat dan lemah yang tidak berguna dan, karennya, akan menjadi beban bagi masyarakat atau negara. Aristoteles, dalam hal ini, memandang pikiran sebagai kemampuan yang khas manusia untuk secara kritis melakukan: pertama; pengamatan, kedua; menilai dan mengklasifikasi atau mengkategorikan konsep-konsep, ketiga; menempatkan perbedaan dalam rangka kombinasi dan hubungan, keempat; melakukan perhitungan-perhitungan berdasarkan kemampuan membeda-perbedakan, mengklasifikasi, dan mengkombinasi hubungan.

Pendeknya, mahasiswa adalah sebuah dunia actual dan fungsional yang ingin mewujudkan kapasitasnya, sebagai komunitas baru yang berciri khas sebagai kaum intelek atau "pemikir aktual". Para mahasiswa, karenanya, giat membangun struktur perilaku, cara berkomunikasi, cara bergaul, cara berbahasa, serta bereksperimentasi hidup dalam pola dan arus pemikiran yang khas dan dinamis. Mereka mengkritik pikiran-pikiran, tradisi, dogma-dogma, ideologi, serta melakukan eksplorasi, analisis, perbandingan, dan penyimpulan-penyimpulan yang progresif, berupa persetujuan-persetujuan (affirmasi) atau penolakan-penolakan (negasi) untuk menunjukkan kepiawaiannya sebagai "pemikir aktual". Jiwa mereka diliputi sebuah semangat yang tunggi untu berusaha menyusun atau memformulasi pemikirannya sedemikian rupa menjadi tanda kepribadian yang "memekarkan".

Mahasiswa, lebih daripada itu, ingin menampilkan diri sebagai "pemikir aktual", penggagas seminar, aktivis kelompok diskusi, bedah pemikiran, dan "demonstran intelektual". Tujuannya, ingin mendemontrasikan atau mengujicoba kekuatan pemikirannya sebagai the power of logic untuk menyikapi realitas masyarakatnya, sedemikian rupa, sehingga diakui atau dikenal luas sebagai pemikir sejati, komunitas rasional, ilmuwan, dan kaum berpengetahun. Mereka, dengan itu, berusaha menyakinkan masyarakat bahwa, pikiran dan kaum pemikir adalah "kekuatan" yang mampu mengemansipasi masyarakatnya dari kemandegan hidup yang mengancam serta kekuatan-kekuatan determinan berupa; represi, arogansi, dan candu kekuasaan yang dianggapnya sebagai kepalsuan, absurditas, dan irasional yang harus dilawan dengan pikiran sehat.

Mahasiswa adalah "calon pemikir", bukan dalam arti bahwa mereka, sebelumnya, belum pernah berpikir atau belum terbiasa berpikir. Maksudnya, mereka di sini baru berada pada sebuah periode khusus dalam hal memandang dan mengerjakan pikiran itu sendiri secara kritis, terstruktur dan sistematis sebagai sebuah keberadaan baru baginya. Mahasiswa, pada periode ini mulai terlatih untuk bereksperimentasi pemikiran dalam rangka mengembangkan alam berpikirnya secara filosofis logis, yang menjadi dasar bagi proses "berpikir keilmuan".

Mahasiswa, karena itu, harus mengolah pemikirannya secara teratur dan bertahap, untuk mencapai tahap-tahap kepuasan inteketual yang dipersyaratkan dalam mewujudkan dirinya selaku pemikir yang ilmuwan, bukan pemikir biasa. Mereka, justru itu, harus membangun sebuah tradisi berpikir dalam hidup aktualnya, untuk dapat mewujudkan jatidirinya selaku "master" berpikir. Mereka mengeksperimentasi pemikiran dengan cara mengkritik, menganalisis, mengkaji, menggugat, serta menguji pikiran dan pandangan, termasuk dalamnya, ideologi-ideologi, tradisi, atau ajaran-ajaran yang ada, untuk mengambil keputusan-keputusan intelektual yang baru, sebagai taha-tahap berpikir progresif menuju pencapaian pikiran atau pengetahuan-pengetahuan baru di dalam hidupnya. Ciri berpikir yang dimaksud, yaitu berpikir secara rasional (bukan subyektif-emosional), terstruktur, metodik, dan logis untuk menghasilkan kategori-kategori pemikiran sehat, lurus, dan obyektif. Melalui itu, mahasiwa akan melihat dirinya di dalam teater pemikirannya sendiri dengan aneka penyiasatan hidup untuk mencapai kesuksesan.



Komentar

Postingan Populer