Perjalanan Waktu di Kampung Ramadhan
Perjalanan Waktu di Kampung Ramadhan
Di sebuah desa kecil bernama Kampung Cahaya, suasana bulan suci Ramadhan selalu dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan. Tradisi sahur dengan kentongan, berbuka puasa bersama di masjid, serta anak-anak yang berlarian membawa obor saat takbiran, menjadi pemandangan yang selalu diingat.
Suatu malam, di pertengahan bulan Ramadhan tahun 1950, seorang pemuda bernama Malik sedang berjalan pulang setelah shalat Tarawih. Saat melewati sebuah pohon beringin tua di tengah kampung, ia mendengar suara aneh. Rasa penasaran membuatnya mendekat, dan seketika tubuhnya tersedot dalam pusaran cahaya yang terang benderang.
Ketika Malik membuka mata, ia mendapati dirinya masih di Kampung Cahaya, tetapi ada yang berbeda. Masjid telah berdiri megah dengan menara tinggi, jalan-jalan sudah diaspal, dan tak ada lagi kentongan untuk membangunkan sahur. Lampu-lampu modern menggantikan cahaya obor, dan anak-anak kecil tidak lagi membawa obor saat takbiran.
Kebingungan menyelimuti Malik. Ia bertemu dengan seorang pria bernama Rizal yang mengenakan pakaian modern. Rizal terkejut mendengar cerita Malik dan segera menyadari bahwa pemuda ini berasal dari masa lalu. Rizal membawanya ke rumah dan menunjukkan segala perubahan yang telah terjadi di Kampung Cahaya selama puluhan tahun. Kini, tradisi sahur dengan kentongan telah digantikan oleh alarm ponsel dan pengumuman dari masjid. Takjil yang dulu hanya berupa kolak dan kurma, kini hadir dalam berbagai macam variasi modern.
Meskipun banyak yang berubah, Malik menyadari bahwa esensi Ramadhan tetap sama. Semangat berbagi, kebersamaan, dan ibadah yang khusyuk masih terasa di setiap sudut kampung. Malik pun mulai menerima kenyataan bahwa ia telah berpindah ke masa depan. Dengan bimbingan Rizal, ia mulai belajar tentang kehidupan modern, namun tetap menjaga nilai-nilai lama yang ia bawa dari zamannya.
Pada malam Lailatul Qadar, Malik kembali ke pohon beringin tua, berharap bisa kembali ke masanya. Doanya mengalir dengan harapan agar tradisi lama tetap hidup berdampingan dengan perkembangan zaman. Saat fajar mulai menyingsing, ia merasakan pusaran cahaya kembali menariknya.
Ketika membuka mata, ia telah kembali ke tahun 1950. Tak ingin kehilangan tradisi dan nilai-nilai kebaikan, Malik mulai mengajarkan kepada warga bahwa perubahan zaman tak seharusnya menghilangkan kehangatan dan kebersamaan di bulan suci. Ia menyampaikan visinya tentang masa depan Kampung Cahaya yang tetap menjaga akarnya meskipun terus berkembang.
Dan benar saja, berkat Malik, Kampung Cahaya terus maju tanpa melupakan jati dirinya. Kini, di tahun sekarang, Kampung Cahaya dikenal sebagai tempat di mana tradisi lama dan modern berpadu harmonis, menjadikan Ramadhan selalu terasa istimewa sepanjang zaman.



Komentar
Posting Komentar